Pengertian Prilaku Prososial atau Menolong Orang Lain - EDUKASI



PRILAKU PROSOSIAL : MENOLONG ORANG LAIN
Tingkah laku prososial adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin akan melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong.
Sebagai contoh tingkah laku prososial kadang- kadang melibatkan resiko adalah Seorang anak pramuka yang berniat menolong menyeberangkan seorang ibu. Namun anak pramuka itu memohon kepada ibu tersebut  untuk menandatangani surat pernyataan bahwa tidak akan menuntutnya dikemudian hari. Karena anak tersebut tidak mau jika pertolongannya akan memicu timbulnya masalah hukum dimasa mendatang.
A.    Merespons Keadaan Darurat : Mengapa Bystander Kadang-kadang Menolong, Kadang-kadang Tidak?
Dalam studi tingkah laku prososial, dikenal konsep bystander fakta menunjukkan bahwa kecenderungan untuk berespons prososial pada keadaan darurat dipengaruhi oleh jumlah bystander yang ada.
Bystander adalah orang yang melihat, penonton ataupun pengamat. Kita dapat dengan mudah menemukan cerita di surat kabar yang menggambarkan kejadian dimana bystander menyaksikan suatu keadaan darurat dan tidak mau menolong. Sebagai contoh, seorang wanita tengah baya mengalami kerusakan mobil pada jam sibuk suatu pagi dan kemudian harus mendorong mobilnya kesisi jalan. Meskipun banyak orang yang lewat, tidak satupun yang berhenti untuk bertanya apa yang salah atau bertanya apakah mereka dapat menolong dengan cara menelponkan seseorang.
Mengapa Tidak Seorang pun Menolong?
Dalam setiap kejadian, pertanyaan yang tampak jelas adalah “Mengapa tidak seorang pun mau menolong?” dan jawabannya pun tidak pernah jelas maka keadaan inilah yang mendorong dua psikolog sosial untuk mencari jawaban berkaitan dengan hal ini dengan melakukan penelitian mengenai pembunuhan Kitty Genovese di New York. Ketika Kitty Genovese berniat pulang kerumahnya dari bekerja ia didekati seorang laki- laki yang bersenjatakan pisau, mengetahui hal ini Kitty Genovese melarikan diri namun laki- laki tersebut terus mengejarnya hingga akhirnya berhasil mendekati Kitty Genovese dan menusuknya. Berkali- kali Kitty Genovese berteriak minta tolong hingga lampu- lampu dari apartemen yang menghadap kejalan mulai menyala dan orang- orang melihat keluar untuk mengetahui apa yang terjadi. Si penyerang berniat pergi, namun ia melihat tidak ada seorang pun yang datang untuk menolong korban sehingga ia kembali menusuk Kitty Genovese hingga meninggal namun tidak seorang pun mengambil tindakan untuk menelpon polisi.
Kegagalan bystander untuk memberi pertolongan banyak dibahas di media sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan “Mengapa mereka tidak menolong?” dan kemungkinannya adalah orang-orang yang melihat pada saat kejadian itu tidak mempunyai hati nurani, dingin dan tidak peduli dengan masalah- masalah oranglain.
Terjadinya perilaku yang kontras ini mendorong dua psikolog sosial, John Darley dan Bibb Latane melakukan diskusi dan akhirnya memunculkan sebuah prediksi bahwasanya semakin banyak jumlah Bystander, semakin berkurang bantuan yang ditawarkan dan semakin lama pula lah pemberian pertolongan. Teori ini sering disebut dengan Efek bystander (bystander effect).
Pengambilan Keputusan untuk Menolong pada Keadaan Darurat : Lima Langkah Penting
Sejalan dengan meluasnya penelitian terhadap tingkah laku prososial yang melampaui pertanyaan dan penelitian awalnya, formulasi teoritis juga meluas untuk memperhitungkan faktor- faktor tambahan yang mempengaruhi mengapa pertolongan diberikan atau tidak diberikan. Bagi kita yang tidak dihadapkan pada kejadian tersebut dapat langsung memutuskan apa yang seharusnya dilakukan bystander. Misalnya, pengemudi- pengemudi yang lewat seharusnya menolong perempuan yang mengalami masalah dengan mobilnya dan para penghuni apartemen seharusnya menelpon polisi ketika mereka mendengar teriakan Kitty Genovese atau mungkin langsung meneriaki si penyerang atau bahkan datang berkelompok untuk menyelamatkan perempuan tersebut.
Namun ketika kita benar – benar dihadapkan pada keadaan darurat seperti ini, situasinya tidak sesederhana itu. Disamping penyebaran tanggung jawab terdapat banyak faktor yang mempengaruhi bagaimana orang akan merespon. Ada 5 langkah yang dapat menentukan untuk melakukan tindakan prososial atau tindakan berdiam diri saja:
1.      Menyadari adanya keadaan darurat
Menurut defenisinya, keadaan darurat tidak terjadi menurut jadwal jadi tidak ada cara untuk mengantisipasi kapan atau dimana masalah yang tidak diharapkan akan terjadi.
Ketika kita tiba- tiba dihadapkan pada pengendara yang mobilnya mogok, kecelakaan di jalan tol bahkan teriakan minta tolong. Namun, kita terlalu sibuk untuk memperhatikan lingkungan sekitar dan gagal untuk menyadari situasi darurat yang nyata-nyata terjadi. Pertolongan tidak diberikan karena tidak adanya kesadaran bahwa keadaan darurat itu terjadi.
2.      Menginterpretasikan keadaan sebagai keadaan darurat
Meskipun kita memperhatikan apa yang terjadi disekitar kita, kita hanya memiliki informasi yang tidak lengkap dan terbatas mengenai apa yang kira- kira sedang dilakukan oleh orang asing tersebut. Kita cenderung untuk menahan diri dan menunggu informasi lebih lanjut. Kecenderungan yang berada dalam sekelompok orang asing untuk menahan diri dan tidak berbuat apa pun disebut sebagai pengabaian majemuk (pluralistic ignorance). Yaitu, karena bystander tidak tahu dengan jelas apa yang sedang terjadi, masing-masing bergantung pada yang lain untuk memberi petunjuk.
3.      Mengasumsikan bahwa dirinya bertanggung jawab untuk menolong
Bystander yang seorang diri lebih mungkin untuk bertindak prososial dibandingkan seorang bystander dalam kelompok karena tidak ada orang lain pada saat itu yang dapat bertanggung jawab memberika pertolongan.
4.      Mengetahui apa yang harus dilakukan
Apabila bystander sudah mengasumsikan adanya tanggung jawab pada dirinya maka ia harus mengetahui pertolongan seperti apa yang akan ia berikan.
5.      Mengambil keputusan untuk menolong
Ketika bystander mengetahui pertolongan apa yang akan diberikan. Ini adalah tahap yang paling menentukan apakah bystander akhirnya memutuskan untuk menolong korban tersebut atau hanya berdiam diri saja.
Faktor Situasional yang Mendukung atau Menghambat Tingkah Laku Menolong: Daya Tarik, Atribusi, dan Model-model Prososial
Disamping lima langkah pengambilan keputusan yang mempengaruhi tingkah laku prososial, ada juga faktor- faktor tambahan yang memiliki pengaruh pada kemungkinan bystander menolong atau tidak yaitu :
1.      Menolong mereka yang anda sukai
Daya tarik fisik adalah faktor yang dapat meningkatkan ketertarikan bystander pada korban dan meningkatkan kemungkinan terjadinya respons prososial. Karena adanya ketertarikan ini bystander pun akan segera memberikan pertolongan.
2.      Atribusi menyangkut tanggung jawab korban
Ketika kita melihat seseorang yang membutuhkan pertolongan, tindakan kita untuk menolong atau tidak menolong bergantung pada pemikiran kita tentang kejadian yang dialami orang tersebut. Jika kita berfikir bahwa ia bertanggung jawab terhadap keadaan yang tengah dialaminya maka kita cenderung mengabaikannya, sebaliknya jika kita berfikir bahwa ia adalah seorang korban yang tidak bersalah maka kita akan lebih cenderung membantunya
3.      Model-model proposial : kekuatan dari contoh positif
Sikap menolong atau tidak juga bergantung kepada faktor orang- orang disekitar kita. Sebagai contoh jika kita melihat ada orang yang memberikan sumbangan maka akan semakin besar pula lah kemungkinan kita akan memberikan sumbangan juga.
Self Interest, Integritas Moral dan Hipokrisi Moral
  • Self interest adalah motivasi untuk terlibat dalam tingkah laku apa pun yang menyediakan kepuasan terbesar. Kadang-kadang disebut juga dengan egoism- pertimbangan eksklusif terhadap kebutuhan serta kesejahteraan pribadi dan bukan terhadap kebutuhan dan kesejahteraan orang lain.
  • Integritas moral (moral integrity) adalah motivasi untuk bermoral dan benar-benar terlibat dalam tingkah laku moral.
  • Hipokrasi moral (moral hypocrisy) adalah motivasi untuk terlihat bermoral selagi melakukan apa yang terbaik untuk menghindari kerugian yang dilibatkan dalam tindakan bermoral yang sebenarnya.
B.     Penolong Dan Mereka Yang Menerima Pertolongan
Dalam menggambarkan tingkah laku prososial, Pertama kita akan menggambarkan bagaimana perubahan kondisi emosional (emotional state: perubahan suasana hati dan efek yang menyertai situasi baik dan buruk) memiliki pengaruh kompleks pada respons prososial.
·         Emosi positif dan tingkah laku prososial
Kebanyakan anak tampaknya percaya bahwa lebih baik meminta sesuatu dari orang tua ketika mereka sedang berada pada suasana hati yang baik dari pada ketika suasana hati mereka tidak baik. Sering kali hal ini benar adanya, dan pengaruhnya terlihat pada tindakan prososial juga.
Emosi juga dapat dipengaruhi oleh apa yang kita cium. Baron (1997a) menemukan bahwa bau yang menyenangkan  tidak hanya menimbulkan pengaruh positif, tetapi juga meningkatkan prilaku menolong. Namun, faktor-faktor lain dapat mempengaruhi ini. Apa yang akan  terjadi jika seorang bystander yang berada pada suasana hati yang sangat positif menghadapi situasi yang tidak jelas kedaruratannya atau tidak? Ketika masalahnya tidak jelas dan seseorang merasa bahagia, kebanyakan orang cenderung untuk mengasumsikan bahwa tidak ada keadaan darurat yang terjadi.
Kesimpulan umum adalah bahwa jika pertolongan sangat jelas dibutuhkan dan menolong tidak melibatkan konsekuensi negative untuk penolong, emosi positif meningkatkan kemungkinan terjadinya respons prososial.jika, tingkah laku prososial dapat merusak suasana hati baik seseorang, suasana hati yang baik itu menyebabkan berkurangnya prilaku menolong.
·         Emosi negatif dan tingkah laku prososial
Seseorang yang berada dalam suasana hati negative lebih kurang mungkin untuk menolong. Seperti halnya dengan emosi positif, emosi negative dapat memiliki pengaruh yang berlawanan pada kondisi spesifik. Pengaruh positif dari emosi negative paling mungkin dilihat jika perasaan negative tidak terlalu parah, jika keadaan darurat tidak ambigu, dan jika prilaku menolong menarik dan memuaskan dan bukan menyulitkan dan tidak menyenangkan.
 Kedua mengindikasikan bagaimana kecenderungan untuk bertindak dalam cara prososial yang dipengaruhi oleh perbedaan disposisional.
·         Empati
Banyak perbedaan pada minat seseorang untuk menolong bersumber pada motif altruistic yang berdasarkan pada empati. Empati meliputi komponen afektif maupun kognitif. Secara afektif orang yang berempati merasakan apa yang orang lain rasakan. Secara kognitif orang yang berempati memahami apa yang orang lain rasakan dan mengapa. Jadi, empati berarti tidak hanya seperti pernyataan popular Presiden Clinton “saya merasakan penderitaanmu”, tetapi juga, “saya mengerti penderitaanmu”.
Menolong orang lain dan ditolong oleh orang lain jelas meningkatkan kesempatan bagi orang untuk dapat bertahan dan bereproduksi. Komponen afektif dari empati juga termasuk merasa simpatik, tidak hanya merasakan penderitaan orang lain tetapi juga mengekspresikan kepedulian dan mencoba melakukan sesuatu untuk meringankan penderitaan mereka. Misalnya, individu ang memiliki empati tinggi lebih termotivasi unuk menolong seorang teman daripada mereka yang memiliiki empati rendah.
·         Kadar empati yang berbeda
Factor-faktor genetis berkonstribusi pada sekitar sepertiga dari factor-faktor yang menjelaskan adanya perbedaan empati afektif diantara orang-orang. Diasumsikan, factor-faktor eksternal menjelaskan adanya perbedaan dalam empati kognitif dan mempengaruhi dua pertiga perbedaan empati afektif. Kita semua dilahirkan dengan kapasitas biologis dan kognitif untuk merasakan empati, tetapii pengalaman spesifik kita menentukan apakah potensi bawaan tersebut dihambat atau menjadi bagian yang penting dari diri.
Terdapat perbedaan individual yang besar dalam disposisi simpati, dan kita mengetahui bahwa anak-anak yang berkarakter sipatik umumnya berasal dari lingkungan yang hangat dan suportif. Anak-anak yang karakter simpatiknya tinggi juga cenderung menjadi anak yang memiliki pernalaran moral yang cukup canggih serta cenderung baik dalam mengelola emosi  mereka.
Wanita mengekspresikan tingkat empati yang lebih tinggi daripada pria, hal ini disebabkan baik oleh perbedaan genetis atau perbedaan pengalaman sosialisasi.
·         Kepribadian yang berhubungan dengan prilaku prososial
Di antara factor-faktor kepribadian lainnya yang merupakan karakteristik yang paling cenderung menolong orang lain adalah kebutuhan akan persetujuan. Individu-individu yang tinggi kebutuhannya dalam hal ini berespons pada reward seperti: pujian dan penghargaan lainnya. Ketika mereka diberikan reward untuk tingkah laku prososial, maka prilaku menolong meningkat.
Kepercayan interpersonal (interpersonal trust), orang-orang yang mempunyai kepercayaan interpersonal yang tinggi lebih banyak terlibat dalam tindakan prososial daripada orang-orang yang cenderung untuk tidak mempercayai orang lain.
 Ketiga melihat respons prososial pada masalah yang bukan merupakan situasi darurat yang akut, orang yang membutuhkan bantuan jangka panjang.
·         Motif untuk sukarela
Keputusan untuk menjadi sukarelawan dapat berdasarkan pada nilai-nilai personal, kebutuhan untuk memahami fenomena, keinginan untuk meningkatkan perkembangan diri sendiri, kesempatan untuk mendapatkan pengalaman yang berhubungan dengan karier, kebutuhan untuk mengembangkan kebutuhan pribadi, keinginan untuk mengurangi perasaan negative. Dengan kata lain, sukarelawan dapat melakukan pekerjaaan yang persis sama, tetapi untuk alasan yang cukup berbeda.
·         Motivasi memberikan pertolongan jangka panjang
Menolong sebagai respons pada situasi darurat personal atau pada bencana internasional yang merupakan suatu pristiwa yang hanya terjadi satu kali dalam priode waktu yang singkat. Siapa saja yang menawarkan diri untuk menyediakan bantuan harus memiliki komitmen dalam waktu, keterampilan istimewa/uang selama waktu yang panjang.
Keempat melihat pengaruh menolong pada mereka yang menerima pertolongan.
Anda membutuhkan pertolongan, dan seseorang datang untuk membantu. Sekilas terlihat bahwa anda seharusnya bereaksi positif dan berterimakasih, tetapi sering kali reaksi anda tidak seperti itu. Seseorang yang menerima pertolongan dapat merasakan emosi negative seperti tidak nyaman dan merasa tidak senang pada orang yang menolong.
Menerima pertolongan dapat menurunkan self-esteem, terutama jika penolong adalah teman atau seseorang yang sama dengan anda dari segi usia, pendidikan, dan karakteristik lainnya. Ketika self-esteem terancam, hasilnya merupakan afek negative yang menciptakan perasaan tidak suka pada orang tersebut.
Saat seseorang merespon secara negative ketika menerima pertolongan, terdapat juga aspek positif yang tidak terlalu terlihat. Ketika ditolong merupakan pengalamn yang sangat tidak menyenangkan sehingga orang tersebut ingin menghindari terlihat tidak kompeten lagi, ia termotivasi untuk terlibat dalam aktivitas self-help dimasa mendatang. Di antara manfaat-manfaat yang lain, motivasi ini dapat mengurangi perasaan ketergantungan.
Pertolongan untuk masalah-masalah besar yang diberikan oleh teman-teman, keluarga, dan tetangga dapat menimbulkan perasaan tidak adekuat dan kebencian, tetapi hal ini dapat memotivasi indiviidu untuk bekerja keras menghindari masalah-masalah seperti itu di masa mendatang. Namun sebaliknya, pertolongan yang datang dari orang asing membuat orang yang butuh pertolongan tetap memiliki self-image yang positif dan menghargai  pertolongan itu dan hanya menimbulkan sedikit motivasi untuk menghindari krisis di masa depan.
C.    Menjelaskan Tingkah Laku Proposial :
Mengapa Orang Menolong ?
Teori-teori yang ada cenderung untuk menekankan pada salah satunya, motif yang secara relatif egois atau secara relatif tidak egois untuk bertindak secara prososial. Seperti yang mungkin anda perkirakan, orang-orang cenderung mengaitkan perilaku menolong mereka sendiri dengan motif egois, biasanya mengungkapkan nilai moral dasar, “ Itu adalah yang benar di lakukan “ atau “ Itu cara orang tua saya membesarkan saya “ atau “ Tuhan menempatkan saya di sana untuk suatu alasan “.
Kita sekarang beralih pada empat teori utama yang mencoba menjelaskan motivasi prososial :
·         Empati-altruisme : Menolong Orang Lain Membuat Perasaan Menjadi Enak
Kemungkinan penjelasan yang tidak egois dari prilaku proposial adalah bahwa orang yang empatik menolong orang lain karena “ rasanya menyenangkan untuk berbuat baik” Berdasarkan pada asumsi ini, Baston dan kolega-koleganya mengajukan hipotesis empati-altruisme (empathy-altruism hypothesis ). Mereka mengungkapkan bahwa setidaknya tingkah laku prososial hanya dimotivasi keinginan tidak egois untuk menolong seseorang yang membutuhkan pertolongan. Motivasi menolong orang ini dapat menjadi sangat kuat sehingga individu yang memberi pertolongan bersedia terlibat dalam aktivitas yang tidak menyenangkan, berbahaya dan bahkan mengancam nyawa. Perasaan simpati dapat sangat kuat sehingga mereka mangesampingkan semua pertimbangan lain. Perasaan empati yang kuat memberikan bukti yang sangat valit pada individu tersebut, sehingga ia pasti sangat menghargai kesejahteraan orang lain.
·         Model Mengurangi Keadaan Negatif : Menolong dapat Mengurangi Efek Negatif
Teori lain yang mengungkapkan bahwa orang-orang kadang menolong karena mereka berada pada suasana hati yang jelek dan ingin membuat diri sendiri merasa lebih baik. Penjelasan dari tingkah laku prososial ini dikenal sebagai model mengurangi keadaan negatif (negative-state reliefmodel). Dengan kata lain prilaku prososial sebagai prilaku self-help untuk mengurangi perasaan negatif diri sendiri.
Penelitian mengindikasikan bahwa tidak penting apakah emosi negative bystander meningkat sebelum terjadinya situasi darurat atau ditingkatkan oleh adanya situasi darurat itu sendiri. Yaitu, anda dapat merasa tidak enak hati karena menerima nilai yang buruk atau karena melihat orang asing kecelakaan. Dalam kedua situasi tersebut, anda dapat terlibat dalam tingkah laku prososial yang tujuannya untuk memperbaiki suasana hati anda sendiri. Dalam situasi seperti ini, kesedihan menimbulkan prilaku prososial, dan empati bukan merupakan komponen yang di butuhkan.
·         Kesenangan Empatik : Menolong dapat Membuat Perasaan menjadi Enak-Jika Anda Tahu Bahwa Anda Mencapai Sesuatu
Secara umum jelas bahwa perasaan menjadi lebih baik apabila anda dapat memberi pengaruh positif pada orang lain. Secara harfiah, memberi dapat benar-benar lebih baik dari pada menerima. Menolong kemudian dapat di jelaskan berdasarkan hipotesis kesenangan empatik (empathic joy hypotheis). Dari pandangan ini, penolong berespon pada kebutuhan korban karena dia ingin merasa enak karena berhasil mencapai sesuatu.
Satu implikasi dari formulasi ini penting bagi seseorang yang menolong untuk mengetahui bahwa tindakannya memiliki pengaruh positif bagi orang lain.
·         Determinisme Genetis : Menolong Orang Lain Memaksimalkan Kelangsungan Hidup Gen
Model determinisme genetis (genetic determinism model) didasarkan pada teori umum dari prilaku manusia. Psikolog evosioner menekankan bahwa kita tidak sadar akan respons yang dihasilkan oleh pengaruh genetis – kita melakukannya hanya karena kita di bentuk seperti itu. Sebagai akibatnya, manusia diprogram untuk menolong sebagaimana mereka diprogram sehubungan dengan prasangka, pemilihan pasangan, agresi, dan tingkah laku lainnya.
Acher (1991) menggambarkan bagaimana teori-teori sosiobiologis di dasarkan pada konsep seleksi alam. Sebagaimana untuk ketertarikan fisik,banyak karakteristik tingkah laku yang diasumsikan memiliki akar genetis. Dalam setiap kesempatan, karakteristik di pilih melalui evolusi murni berdasarkan pada relevansinya pada keberhasilan reproduksi. Tujuan utama individu adalah kebutuhan tidak sadar untuk meyakinkan bahwa gennya di turunkan pada generasi berikutnya.
Pendekatan yang sedikit berbeda yang mengarah pada kesimpulan yang sama di tawarkan oleh Burnstein, Crandall, dan Kitayama. Mereka beragumentasi bahwa hasrat terdalam dari manusia prasejarah bukanlah menolong satu sama lain_seleksi alam tidak mendukung untuk menolong. Siapapun yang menolong orang lain dalam situasi darurat seperti tenggelam atau diserang oleh binatang predator akan beresiko terbunuh dan kemudian tidak dapat mewariskan gennya sendiri. Satu pengecualian dari keadaan ini adalah jika orang yang membutuhkan pertolongan adalah kerabat dekat.Dalam kejadian ini, seleksi alam akan mendukung mereka yang menolong kerabat yang cukup muda untuk bereproduksi. Prilaku menolong pada kerabat dekat di persepsikan sebagai hal yang rasional, etis dan merupakan kewajiban tetapi, hal ini berlaku hanya jika menolong akan memberi pengaruh terhadap keberhasilan bertahap hidup (survival) atau reproduksi dan hanya jika individu mersa dekat secara emosional dengan kerabatnya. Burnstein dan kolega-koleganya melakukan sejumlah penelitian berdasarkan pada keputusan hipotesis mengenai siapa yang seharusnya di tolong. Sebagaimana diprediksikan berdasarkan kemampuan reproduksi, lebih banyak pertolongan diberikan kepada kerabat yang muda dari pada yang tua_misalnya, lebih banyak pertolongan yang dibarikan kepada kerabat wanita yang cukup muda untuk mengandung anak-anak dari pada kerabat wanita yang telah melewati monopose.
Dalam telaah literature altruisme, Buck dan Ginsberg (1991) menyimpulkan bahwa tidak terdapat bukti adanya suatu gen yang menentukan prilaku prososial. Namun pada manusia, maupun diantara binatang-binatang lain, memang terdapat kemampuan yang berbasis gen untuk menbantuk ikatan sosial. Mungkin kapasitas yang diturunkan ialah yang meningkatkan kemungkinan bahawa seseorang akan menolong orang lain ketika masalah muncul. Oleh sebab itu, manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial dan mampu berempati. Ketika orang-orang berinteraksi satu sama lain dalam hubungan sosial “mereka selalu prososial, biasanya menolong dan sering kali altruistik”

Belum ada Komentar untuk "Pengertian Prilaku Prososial atau Menolong Orang Lain - EDUKASI"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel